SURAT PEMBERITAHUAN

 

  1. PENGERTIAN

Pengertian SPT dalam Pasal 1 butir 10, UU KUP dijelaskan bahwa “Surat pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.

 

  1. FUNGSI SPT

Sesuai dengan Pasal 3 UU Nomor 28 tahun 2007, SPT mempunyai fungsi sebagai berikut:

  1. Wajib Pajak PPh

Sebagai sarana wajib pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

  • Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
  • Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak.
  • Harta dan kewajiban.
  • Pembayaran dari pemotongan atau pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 masa pajak sesuai dengan ketentuan UU perpajakan.
  1. Pengusah Kena Pajak

Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

  • Pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran.
  • Pambayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP dan atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
  1. Pemotong/Pemungut Pajak

Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan.

 

  1. JENIS SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)

Secara garis besar, SPT dibedakan menjadi 2, yaitu:

  1. SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. SPT Masa terdiri dari SPT Masa PPh, SPT Masa PPN, dan SPT Masa PPnBM.
  2. SPT Tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. SPT tahunan terdiri dari formulir-formulir sebagai berikut:
  3. SPT 1771-Rupiah: SPT tahunan PPh bagi wajib pajak badan.
  4. SPT 1771-US: SPT tahunan PPh bagi wajib pajak badan yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat.
  5. SPT 1770: SPT tahunan PPh wajib pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan dari usaha pekerjaan bebas, dari satu atau lebih pemberi kerja.
  6. SPT 1770 S: SPT tahunan PPh wajib pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan dari usaha pekerjaan bebas, dari satu atau lebih pemberi kerja dengan penghasilan bruto lebih dari Rp 60.000.000,00 setahun.
  7. SPT 1770 SS: SPT tahunan PPh wajib pajak pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan dari usaha pekerjaan bebas, dari satu atau lebih pemberi kerja dengan penghasilan bruto tidak lebih dari Rp 60.000.000,00 setahun.
  8. SPT 1721: SPT tahunan PPh Pasal 21.

 

  1. BENTUK, ISI, DAN LAMPIRAN SPT

Dalam pasal 3 ayat (6) UU KUP, menteri keuangan menetapkan:

  1. Bentuk SPT sesuai dengan SE-12/PJ/2003 yaitu:
  • SPT dalam bentuk kertas;
  • E-SPT (SPT dalam bentuk digital) yang disampaikan dengan media digital;
  • E-SPT (SPT dalam bentuk digital) yang infromasinya disampaikan melalui jaringan komunikasi data.
  1. Kelebihan e-SPT:
  • Penyampaian SPT dapat dilakukan secara cepat dan aman karena lampiran dalam bentuk media CD/disket.
  • Data perpajakan terorganisasi dengan baik.
  • Sistem aplikasi e-SPT mengorganisasikan data perpajakan perusahaan dengan baik dan sistematis.
  • Penghitungan dilakukan secara cepat dan tepat karena menggunakan sistem komputer.
  • Kemudahan dalam membuat laporan pajak.
  • Data yang disampaikan WP selalu lengkap, karena penomoran formulir dengan menggunakan sistem komputer.
  • Menghindari pemborosan penggunaan kertas.
  1. Isi Surat Pemberitahuan

Dalam SPT terdapat hal-hal berikut:

  • Nama, NPWP, dan alamat wajib pajak.
  • Masa pajak atau tahun pajak yang bersangkutan .
  • Tandan tangan wajib pajak atau kuasanya.
  1. Lampiran dalam Surat Pemberitahuan

Lampiran dalam SPT berupa ketrangan dan atau dokumen-dokumen. Adapun dokumen-dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT sesuai dengan KEP-214/PJ/2001 adalah:

 

  1. TEMPAT PENGAMBILAN SPT

Dalam pasal 3 ayat (2) UU KUP menyebutkan “Wajib pajak mengambil sendiri SPT di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”.

Setiap WP harus mengambil sendiri formulir SPT di Kantor Pelayan Pajak (KPP), Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4), Kantor Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), Kantor Wilayah DJP, kantor Pusat DJP, atau melalui website DJP: http://www.pajak.go.id atau mencetak/menggandakan/memfotokopi dengan bentuk dan isi yang sama dengan aslinya.

 

  1. KETENTUAN TENTANG PENGISIAN SPT

Setiap wajib pajak mengisi SPT sesuai dengan peraturan 534/KMK.04/2000 atau KEP – 185/PJ/2003, baik dalam bentuk formulir kertas atau elektronik dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satua mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Jenderal Pajak tempat WP terdaftar atau dikukuhkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pengertian benar, lengka, dan jelas dalam mengisi SPT adalah:

  1. Benar dalam perhitungan, termasuk dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
  2. Lengkap dalam memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur lainnya yang harus dilaporkan dalam SPT.
  3. Jelas melaporkan sumber-sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT.

 

Dalam hal SPT diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan oleh WP harus dilampiri surat kuasa khusus. Untuk wajib pajak badan, SPT harus ditandatangani oleh pengurus/direksi.

 

  1. KETENTUAN TENTANG PENYAMPAIAN SPT

Penyampaian SPT oleh wajib pajak ke kantor pelayana pajak (KPP) atau tempat lain yang telah ditetapkan oleh Dirjen Pajak dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu;

  1. Penyampaian langsung

Wajib pajak langsung ke kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar dan diberikan bukti penerimaan SPT. Berdasarkan PER-19/PJ/2009 disebutkan bahwa penyampaian SPT tahunan/e-SPT tahunan secara langsung disampaikan dalam amplop tertutup dengan menulis:

  • Nama Wajib Pajak
  • NPWP
    Tahun Pajak
  • Status SPT (nihil/kurang bayar/lebih bayar)
  • Nomor telepon
  1. Penyampaian lewat Pos

Penyampaian melalui cara pos dengan bukti pengiriman surat. Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan selama SPT tersebut telah lengkap.

  1. Penyampaian lainnya
  2. Melalui perusahaan jasa ekspedisi/jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
  3. E-filling melalui Application Service Provider (ASP). Wajib pajak dapat menyampaikan SPT secara elektronik (e-filling) melalui perusahaan penyedia jasa aplikasi ASP yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Wajib pajak yang telah menyampaikan SPT secara e-filling, wajib menyampaikan induk SPT yang memuat tanda tangan basah dan Surat Setoran Pajak (SSP) serta bukti penerimaan secara elektronik ke KPP tempat wajib pajak terdaftar melalui kantor pos secara tercatat atau disampaikan langsung, paling lambat 14 hari sejak tanggal penyampaian SPT secara elektronik. Penyampaian SPT secara elektronik dapat dilakukan selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. SPT yang disampaikan secara elektronik pada akhir batas waktu penyampaian SPT yang jatuh pada hari libur, dianggap disampaikan tepat waktu.

 

  1. WAJIB PAJAK TERTENTU YANG DIKECUALIKAN DARI MENYAMPAIKAN SPT

Menurut pasal 3 ayat (6) UU KUP, yang dikecualikan dari kewajiban penyampaian SPT dalah:

  1. WPOP berpenghasilan neto dibawah PTKP (untuk SPT pasal 25 dan SPT tahunan)
  2. WPOP yang tidak menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas (untuk SPT masa PPh Pasal 25)

 

  1. BATAS WAKTU PENYAMPAIAN SPT

SPT diserahkan kembali ke kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Batas waktu penyampaian SPT diatur sebagai berikut:

Jenis Pajak Batas waktu penyampaian SPT
SPT Tahunan  
PPh WPOP Selambat-lambatnya 3 bulan setelah akhir tahun pajak
PPh Badan Selambat-lambatnya 4 bulan setelah akhri tahun pajak
SPT Masa  
PPh Pasal 21 Tanggal 20 setelah akhir masa pajak
PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM atas impor (oleh wajib pajak) 14 hari setelah akhir masa pajak
PPh Pasal 22, PPN, dan PPnBM atas impor (oleh Ditjen Bea dan Cukai) 7 hari setelah batas waku penyetoran pajak terakhir
PPh Pasal 22 Bendaharawan Tanggal 14 setelah akhir masa pajak
PPh Pasal 22 Pemungutan oleh Badan Tertentu 20 hari setelah akhir masa pajak
PPh Pasal 23 Tanggal 20 setelah akhir masa pajak
PPh Pasal 25 Tanggal 20 setelah akhir masa pajak
PPh Pasal 26 Tanggal 20 setelah akhir masa pajak
PPh Pasal 4 ayat (2) Tanggal 20 setelah akhir masa pajak

 

  1. PERPANJANGAN WAKTU PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN

Berdasarkan pasal 3 ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 28 tahun 2007, apabila SPT tahunan tidak dapat disampaikan pada waktunya, WP dapat mengajukan permohonan perpanjanagan dengan syarat:

  • Diajukan secara tertulis kepada kepala KPP.
  • Diajukan sebelum batas waktu penyampaian SPT tahunan berakhir.
  • Menyampaiakan perhitungan sementara pajak yang terutang dan dilampiri laporan keuangan.
  • Melampirkan bukti pelunasan atas kekurangan penyetoran pajak yang terutang.

Apabila WP tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan laporan keuangan tahunan untuk memenuhi batas waktu penyelesaian, WP berhak mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT tahunan pajak penghasilan paling lama 2 bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis disertai surat pernyataan mengenai penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 tahun pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang atau dengan cara lain yang ketentuannya diatur dalam keputusan Menteri Keuangan.

 

  1. SANKSI TIDAK/TERLAMBAT MENYAMPAIKAN SPT

SPT yang tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, maka dikenakan sanksi administrai berupa denda:

  1. SPT Tahunan PPh orang pribadi Rp 100.000,00.
  2. SPT Tahunan PPh Badan Rp 1.000.000,00.
  3. SPT Masa PPN Rp 500.000,00.
  4. SPT Masa lainnya Rp 100.000,00.

Mulai 1 januari 2008, wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaiakn SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara maka tidak akan dikenai sanksi pidana melainkan akan dikenai sanksi administrasi jika kesalahan tersebut baru dilakukan pertama kali. Sanksi administrasi tersebut adalah berupa kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang dibayar.

 

  1. DIKECUALIKAN DARI PENGENAAN SANKSI DENDA

Menurut pasal  7 ayat (2) UU KUP, yang dikecualikan dari pengenaa sanksi denda yaitu:

  1. WP Non Efektif
  2. WPOP meninggal dunia, tetapi ahli warisnya belum memberithukannya secara tertulis ke KPP.
  3. WP Badan yang tidak lagi melakukan kegiatan usaha tapi belum bubar.
  4. WP yang tidak lagi diketahui alamatnya.
  5. WPOP berpenghasilan neto di bawah PTKP

SURAT KETETAPAN PAJAK

 

  1. PEMBAYARAN PAJAK

            Berdasarkan prinsip self assessment, setiap Wajib Pajak membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Di ketentuan yang lama, untuk pelaporan pajak, apabila tanggal jatuh tempo jatuh pada hari libur, maka batas waktu pelaporan dimajukan ke hari kerja sebelumnya. Dalam ketentuan baru berdasarkan Pasal 8 ayat 2, apabila tanggal jatuh tempo jatuh pada hari libur, batas waktu pelaporan pajaknya mundur ke hari kerja berikutnya. Jadi, ketentuan ini disamakan dengan ketentuan tentang tanggal jatuh tempo pembayaran yang jatuh tempo pada hari kerja berikutnya.

Definisi hari libur juga diperjelas pada Pasal 8 ayat 3 dimana dijelaskan bahwa hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilu yang ditetapkan pemerintah. Berikut adalah batas waktu pembayaran dan penyampaian SPT.

 

Batas Waktu Penyampaian Surat PEmberitahuan (SPT)

  • SPT Masa
No Jenis SPT Masa Batas Waktu Penyetoran/Pembayaran Batas Waktu Penyampaian SPT Terakhir
1 PPh Pasal 21 Tanggal 15 bulan takwim berikutnya Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
2 PPh Pasal 22-Bendaharawan Pada hari yang sama dengan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja negara, dengan SSP yang diisi oleh dan atas nama rekanan serta ditandatangani oleh bendaharawan Empat belas (14) hari setelah akhir Masa Pajak
3 PPh Pasal 22-Bea Cukai Harus disetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan dilakukan Tujuh hari setelah pembayaran
4 PPh Pasal 22-yang dipungut Pertamina Harus dilunasi sendiri oleh Wajib  Pajak sebelum penebusan Delivery Order (DO) Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
5 PPh Pasal 22-Badan tertentu Paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
6 PPh Pasal 23/26 Tanggal 15 bulan takwim berikutnya Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
 

7

PPh Pasal 25 Tanggal 15 bulan takwim berikutnya Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
8 PPN/PPnBM-PKP/Pemungut PPN selain Bendaharawan Tanggal 15 bulan takwim berikutnya Tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
9 PPN/PPnBM-Bendaharawan Selambat-lambatnya tanggal 7 bulan takwim berikutnya Empat belas (14) hari setelah akhir Masa Pajak
10 PPN/PPnBM-Yang dipungut Bea Cukai Harus disetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan dilakukan Tujuh hari setelah pembayaran

 

  • SPT Tahunan
No Jenis Pajak Yang Menyampaikan SPT Batas Waktu Pembayaran Batas Waktu Penyampaian SPT Terakhir
1 SPT PPh Tahunan Wajib Pajak yang mempunyai NPWP Tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak sebelum SPT disampaikan Tanggal 31 bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak
2 SPT PPh Pasal 21 Tahunan Pemotong PPh Pasal 21 Tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya sebelum SPT disampaikan Tanggal 31 bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak

 

  1. SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)

Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (SKP) hanya terbatas kepada WP tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh WP.

 

  1. FUNGSI SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)

Surat Ketetapan Pajak berfungsi sebagi berikut:

  1. Saran untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
  2. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi administrasi perpajakan.
  3. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
  4. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar.
  5. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.

 

  1. JENIS-JENIS KETETAPAN PAJAK

Surat Ketetpana Pajak (SKP) terdiri dari surat keterangan berupa Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Nihil.

  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayara (SKPKB)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 tahun setelah pajak terutang apabila terdapat:

  1. Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.
  2. Pengusah Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesui dengan masa peneribitan faktur pajak dikenai sanksi.
  3. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak masukan diwajibkan membayar kembali.
  4. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan sebelumnya.

  1. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan oembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak meliputi jenis pajak PPh, PPN, PPnBM, dan PBB. Hal ini dalam rangka peningkatan pelayanan kepada wajib pajak dan pengamanan penerimaan negara melalui integrasi pelayanan pengembalian kelebihan pajak dan penghitungan kelebihan pembayaran pajak dengan utang pajak.

  1. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

  1. Surat Tagihan Pajak (STP)

Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan dalam hal:

  • Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
  • Dari hasil penelitian SPT, terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah tulis dan atau salah hitung.
  • WP dikenakan sanksi administrasi denda dan/atau bunga.
  • Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
  • Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak.

 

  1. KETETAPAN PAJAK YANG DAPAT DIBETULKAN

Apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak, maka dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau permohonan Wajib Pajak

Ketetapan pajak yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan antara lain:

  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
  • Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
  • Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
  • Surat Tagihan Pajak (STP);
  • Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
  • Surat Keputusan Keberatan;
  • Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi;
  • Surat Keputusan Pengurangan dan Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar.

 

Ruang lingkup pembetulan ketetapan pajak terbatas pada kesalahan atau kekeliruan dari:

  1. Kesalahan tulis, antara lain: kesalahan yang dapat berupa penulisan nama, alamat, NPWP, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, masa, atau tahun pajak, dan tanggal jatuh tempo.
  2. Kesalahan hitung, yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian dan atau pembagian suatu bilangan.
  3. Kekeliruan dalam penerapan tarif, penerapan persentase norma pnghitungan penghasilan neto, penerapan sanksi administrasi, PTKP, penghitungan PPh dalam tahun berjalan, dan pengkreditan pajak.
  4. Pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.

 

  1. PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN KETETAPAN PAJAK YANG TIDAK BENAR
  2. Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.
  3. Permohonan pengurangan atua pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar harus memenuhi ketentuan:
  4. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia untuk suatu surat ketetapan pajak..
  5. Menyebutkan jumlah pajak yang menurut penghitungan WP seharusnya terutang.
  6. Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan maka permohonan dianggap diterima.

 

  1. PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI
  2. Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau menghapus sanksi adminitrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan atau bukan karena kesalahan WP.
  3. Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi harus memenuhi ketentuan:
  4. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan yang jelas dan meyakinkan.
  5. Disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang mengenakan sanksi administrasi tersebut.
  6. Tidak melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya STP, SKPKB atu SKPKBT, kecuali apabila WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya.
  7. Tidak mengajukan keberatan atas ketetapan pajaknya dan diajukan atas suatu STP, suatu SKPKB atau suatu SKPKBT.
  8. Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, maka permohonan dianggap diterima.

 

  1. PERMINTAAN PENJELASAN ATAU PEMBERIAN KETERANGAN TAMBAHAN
  2. Untuk keperluan pengajuan permohonan, WP dapat meminta penjelasan keterangan tambahan, dan Kepala KPP wajib menjawabnya secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan.

Catatan:

WP harus tetap memperhatikan jangka waktu pengajuan permohonan di atas

 

  1. WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat keputusan atas permohonan diterbitkan.

 

  1. PEMBETULAN KETETAPAN PAJAK

Apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak, dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permohonan wajib pajak.

 

  1. KESALAHAN ATAU KEKELIRUAN DALAM KETETAPAN PAJAK YANG DAPAT DIBETULKAN

Ruang lingku pembetulan ketetapan pajak, terbatas pada kesalahan atau kekeliruan dari:

  1. Kesalahan tulis antara lain: nama, alamat, NPWP, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, masa, atau tahun pajak, dan tanggal jatuh tempo.
  2. Kesalahan hitung, yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian dan atau pembagian suatu bilangan.
  3. Kekeliruan dalam penrapan tarif, penerapan persentase norma penghitungan penghasilan neto, penerapan sanksi administrasi, PTKP, penghitungan PPh dalam tahun berjalan, dan pengkreditan pajak.

 

  1. JANGKA WAKTU PENYELESAIAN PERMOHONAN WAJIB PAJAK

Jangka waktu penyelesaian permohonan pembetulan Wajib Pajak harus diselesaikan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka permohonan pembetulan yang diajukan dianggap dikabulkan.

 

  1. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan WP tidak punya hutang pajak lain.

 

 

 

PAJAK TERUTANG

 

  1. PENGERTIAN PELUNASAN PAJAK TERUTANG

Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Undang-undang pajak penghasilan menentukan pelunasan pajak penghasilan oleh Wajib Pajak dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:

  1. Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan

Pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan dilakukan oleh wajib pajak melalui pemotongan atau pemnugutan pajak oleh pihak lain dan melalui pembayaran pajak yang dilakaukan sendiri oleh wajib pajak.

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan tersebut merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final (Pasal 20 Undang-undang Pajak Penghasilan.

  1. Pelunasan Pajak Penghasilan Pada Akhir Tahun Pajak

Pelunasan pajak penghasilan pada akhir tahun pajak dilakukan melalui mekanisme Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan yang merupakan penghitungan pajak penghasilan yang terutang yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain maupun yang telah dibayar sendiri, dan jumlah pajak penghasilan yang masih harus dibayar untuk tahun pajak yang bersangkutan. (Pasal 28 Undang-undang Pajak Penghasilan)

 

Pelunasan pajak melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain dan pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri pada hakikatnya merupakan dua cara pemenuhan kewajiban pembayaran yang berjalan bersama dan saling melengkapi.

 

  1. PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

Pajak penghasilan yang dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan pelunasan/pembayaran atas perkiraan pajak penghasilan yang akan terutang dalam suatu tahun pajak. Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain maupun pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri, sebagai berikut:

  1. Pemungutan pajak oleh pihak lain dilakukan dalam hal diperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 (PPh Psal 4 ayat 2 Final);
  2. Pemungutan pajak oleh pihak lain dilakukan dalam hal diperoleh penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 (disebut Pph Pasal 22);
  3. Pemungutan pajak oleh pihak lain dilakukan dalam hal diperoleh penghasilan dari modal, jasa, dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Psal 23 (disebut PPh Psala 23);
  4. Pembayaran pajak di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 (disebut PPh Psala 24).

 

Pelunasan pajak penghasilan dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka Undang-undang Pajak Penghasilan menentukan bahwa pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan dapat bersifat final untuk jenis-jenis penghasilan terentu. Pajak penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan dengan pajak penghasilan yang terutang.

Dengan demikian, pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan oleh pihak lain mempunyai 2 macam sifat, yaitu:

  1. Pajak penghasilan yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain merupakan kredit pajak, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, yaitu tahun pajak yang sama dengan tahun yang tercantum dalam bukti pemotongan atau pemungutan.
  2. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain bersifat final, artinya tidak dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang.

 

Pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan oleh pihak lain pada dasarnya mempunyai 2 tujuan, yakni:

  1. Mengamankan penerimaan negara berupa pajak penghasilan atas jenis-jenis penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan PPh berdasarkan ketentuan Pasal 22, Pasal 23, Undang-undang Pajak Penghasilan.
  2. Untuk memperoleh informasi/data yang berhubungan dengan wajib pajak dalam rangka menciptakan sistem informasi perpajakan yang memadai, guna mengawasi pelaksanaan self assessment system sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

 

  1. ANGSURAN DAN PENUNDAAN PELUNASAN PAJAK TERUTANG
  2. Jatuh Tempo Pembayaran

Pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), serta Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan, tetapi tidak melebihi batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan.

 

  1. Permohonan ntuk Mengangsur atau Menunda Pembayaran Pajak

Wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala Kantor Pelayan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang masih  harus dibayar, yang selanjutnya dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini disebut dengan utang pajak, dalam hal wajib pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga wajib pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.

 

  1. Sanksi Administrasi Berupa Bungan Sebesar 2%

Dalam hal wajib pajak disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran kecuali Surat Tagihan Pajak, wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terkahir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

 

  1. Tata Cara permohonan
  2. Permohonan wajib pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran harus diajukan secara tertulis paling lama 9 hari kerja sebelum jatuh tempo pembayran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan, serta:

1) Jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran, atau;

2) Jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk ditunda dan jangka waktu penundaan.

  1. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilampaui dalam hal wajib pajak mengalami keadaan di luar kekuasaan wajib pajak sehingga wajib pajak tidak mampu melunasi utang pajak tepat pada waktunya.
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diajukan dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

 

  1. Jaminan
  2. Wajib pajak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 3 harus memberikan jaminan yang besarya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP), kecuali apabila Kepala KPP menganggap tidak perlu.
  3. Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa garansi bank, surat dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat deposito.
  4. Wajib pajak yang mengajukan permohonan dalam jangka waktu yang melampaui jangka waktu 9 hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, maka harus memberika jaminan berupa garansi bank sebesar utang pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu pengangsuran atau penundaan.

 

  1. Jangka Waktu Angsuran

Angsuran atas utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 3 dapat diberikan untuk:

  1. Paling lama 12 bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Anggaran Pembayaran Pajak dengan angsuran paling banyak 1 kali dalam 1 bulan, untuk permohonan angsuran atas utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar; atau
  2. Paling lama sampai dengan bulan terakhir tahun pajak berikutnya, untuk permohonan angsuran atas kekurangan pembayaran utang pajak berupa pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan angsuran paling banyak 1 kali dalam 1 bulan.

 

  1. Jangka Waktu Penundaan

Penundaan atas utang pajak dapat diberikan untuk:

  1. Paling lama 12 bulan sejak diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Penundaan Pembayaran Pajak, untuk permohonan penundaan atas utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar; atau
  2. Paling lama sampai dengan bulan terakhir tahun pajak berikutnya, untuk permohonan penundaan atas kekurangan utang pajak berupa pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

 

  1. Jangka Waktu Keputusan dari Kantor Pelayanan Pajak

Setelah mempertimbangkan alasan berikut bukti pendukung yang diajukan oleh wajib pajak, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan.

Keputusan dapat berupa:

  1. Menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsurang atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan wajib pajak;
  2. Menyetujui jumlah angsuran pajak dan atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan pertimbangan Kepala KPP; atau
  3. Menolak permohonan wajib pajak.

Apabila dalam jangka waktu 7 hari kerja telah terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan disetujui dengan permohonan wajib pajak, dan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak atau Surat Keputusan Persetujuan Penundaan Pembayaran Pajak harus diterbitkan paling lama 5 hari kerja setelah jangka waktu 7 hari kerja tersebut berakhir.

 

 

PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN

 

  1. PENGERTIAN PEMERIKSAAN

Pemeriksaan menurut KMK-545/KMK.04/2000, SE-03/PJ.7/2001, SE-06/PJ.7/2004, SE-02/PJ.7/2005, KEP-142/PJ/2005 adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

  1. TUJUAN PEMERIKSAAN

Tujuan dilakukannya pemeriksaan wajib pajak dapat dikarenakan berbagai macam, yaitu:

  1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
  2. SPT lebih bayar;
  3. SPT rugi;
  4. SPT tidak atau terlambat disampaikan;
  5. SPT memenuhi kriteria yang ditentukan Dirjen Pajak untuk diperiksa;
  6. Adanya indikasi tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban selain kewajiban pada huruf b;
  7. Tujuan lain yaitu:
  8. Pemberian NPWP (secara jabatan);
  9. Penghapusan NPWP;
  10. Pengukuhan PKP secara jabatan dan pengukuhan atau pencabutan pengukuhan PKP;
  11. Wajib pajak mengajukan keberatan atau banding;
  12. Pengumpulan bahan untuk penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
  13. Penentuan wajib pajak berlokasi di tempat terpencil;
  14. Penetuan satu atau lebih tempat terutang PPN;
  15. Tujuan lain selain a, s, d, g.

 

  1. HAK WAJIB PAJAK APABILA DILAKUKAN PEMERIKSAAN

Apabila terjadi pemeriksaan terhadap wajib pajak, wajib pajak mempunyai beberapa hak, yaitu:

  1. Meminta kepada pemeriksa pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa.
  2. Meminta tindasan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak.
  3. Menolak untuk diperiksa apabila pemeriksa tidak dapat menunjukkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan.
  4. Meminta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan.
  5. Meminta tanda bukti peminjaman buku-buku, catatan-catatan, serta dokumen-dokumen yang dipinjam oleh pemeriksa pajak.
  6. Meminta rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) mengenai koreksi-koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak terhadap SPT yang telah disampaikan.
  7. Mengajukan pengaduan apabila kerahasiaan usaha dibocorkan kepada pihak lain yang tidak berhak memperoleh lembar asli berita asli penyegelan apabila pemeriksa pajak melakukan penyegelan atas tempat atau ruangan tertentu.

 

  1. WEWENANG PEMERIKSAAN PAJAK (KMK) NOMOR 545/KMK.04/2000

Dalam melakukan pemeriksaan pajak, pemeriksa pajak tidak boleh sembarangan dalam melakukan pemeriksaan, berikut terdapat beberapa wewenang dalam hal pemeriksaan pajak:

  1. Dalam hal pemeriksaan lapangan
  2. Memeriksa dan atau meminjam buku-buku., catatan-catatan, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran atau media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya.
  3. Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari wajib pajak yang diperiksa
  4. Memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat penyimpangan dokumen, uang, barang yang dapat ,e,beri petunjuk tentang keadaan usaha wajib pajak dan/atau tempat-tempat lai yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
  5. Melakukan penyegelan tempat atau ruangan tersebut pada huruf c, apabila wajib pajak atau wakil atau kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan dimaksud, atau tidak ada di tempat pada saat pemeriksaan dilakukan.
  6. Meminta keterangan dan atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan waji pajak yang diperiksa.
  7. Dalam hal pemeriksaan kantor
  8. Memeriksa dan atau meminjam buku-buku dan catatan-catatan wajib pajak.
  9. Meminta keterangan lisan dan atau tertulis dari wajib pajak yang diperiksa.
  10. Meminta keterangan dan atau bukti-bukti yang diperlukan dan pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa.

 

  1. PENGERTIAN PENYIDIKAN

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu dapat membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi, serta menemukan tersangkanya.

Tidak pidana di bidang perpajakn meliputi perbuatan:

  1. Dilakukan oleh seseorang atau oleh badan yang diwakili orang tertentu (pengurus);
  2. Memenuhi rumusan undang-undang;
  3. Diancam dengan sanksi pidana;
  4. Melawan hukum;
  5. Dilakukan di bidang perpajakan;
  6. Dapat menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara;

Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Dirjen Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

 

  1. WEWENANG PENYIDIK

Dalam melakukan penyidikan, petugas penyidik tidak boleh sembarangan melakukan tugasnya. Terdapat beberapa wewenang yang diberikan penyidik yaitu diantaranya:

  1. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
  2. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidanan di bidang perpajakan;
  3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
  4. Memeriksa buku-buku, catatan-catatn, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
  5. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
  6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidan di bidang perpajakan;
  7. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memerikasa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada nomor 5;
  8. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
  9. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  10. Menghentikan penyidikan;
  11. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan;

 

  1. SANKSI YANG BERKENAAN DENGAN PENYIDIKAN

Di bawah ini merupakan sanksi yang berkenaan dengan penyidikan, diantaranya:

  1. Pihak ke-3 (Bank, Akuntan, Notaris, Konsultan Pajak, Kantor Administrasi dan lainnya) yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau bukti yang diminta, atau memberi keteranagan atau bukti yang tidak benar, maka diancam dengan pidana penjara selama-lamnya 1 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
  2. Siapa saja yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, maka diancam dengan penjara pidana selama-lamanya 3 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)

 

  1. ASAS HUKUM PENYIDIKAN
  2. Asas praduga tak bersalah, adalah bahwa setiap orang yang disangka, dituntut, atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan-kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
  3. Asas persamaan dimuka hukum, adalah bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dimuka hukum, tanpa perbedaan.
  4. Asas hak memperoleh bantuan/penasehat hukum, adalah bahwa setiap tersangka perkara tindak pidana di bidang perpajakan wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya sejak dilakukan pemeriksaan terhadapnya.

PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

 

  1. PENGERTIAN PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

Pembukuan

            Dalam pasal 1 angka 26 Udang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, pembukuan adalah suatu proses pencatatn yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.

 

Pencatatan

            Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.

 

  1. KETENTUAN UMUM PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

Menurut Ketentuan Pokok Pembukuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah:

  1. Wajib Pajak (WP) Badan.
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Prang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 1.800.000.000,00.

Sedangkan yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan menurut pasal 28 ayat 2 UU KUP adalah:

  1. WP OP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas yang diperbolehkan meghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan neto.
  2. WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Adapun yang wajib meyelenggarakan pencatatan yaitu:

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan atau usaha atau pekerjaan bebas dan peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 1.800.000.000,00 dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersnagkutan.
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

 

  1. SYARAT-SYARAT PENYELENGGARAAN PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

Adapun syarat-syarat untuk penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan adalah sebagai berikut:

  1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
  2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
  3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stesel akrual atau stelsel kas,
  4. Pembukana dengan menggunakna bahasa asing dan mata uang selain rupiah dapat diseleggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
  5. Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
  6. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
  7. Dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak disimpan selama 10 tahun.

 

  1. PEMBUKUAN DALAM BAHASA ASING DAN MATA UANG SELAIN RUPIAH

Menurut Pasal 28 UU KUP dijelaskan bahwa pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang selain rupiah digunakan oleh Wajib Pajak yang dalam rangka:

  • Kontrak bagi hasil;
  • WP yang mempunyai afilisiasi dengan pengusaha di Luar Negeri;
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT);
  • Kontrak karya, yaitu WP yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan pemerintah RI sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai pertambangan;
  • Penanaman modal asing yaitu WP yang beroperasi berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai Penanaman Modal Asing;
  • Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawasan Pasar Modal – Lembaga Keuangan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

 

Kemudian setelah mendapat izin dari Menteri Keungan, kecuali WP dalam rangka Kontrak Karya/Kontrak Bagi Hasil, cukup dengan pemberitahuan. Selanjutnya pemberian izin dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Pajak.

 

Prinsip Taat Asas

Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:

  1. Stelsel pengakuan penghasilan;
  2. Tahun buku;
  3. Metode penilaian persediaan;
  4. Metode penyusutan dan amortisasi;

 

Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.

Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan peneghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti Build Operate and Transfer (BOT) dan real estate.

Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.

Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau ajasa ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi dibayar.

Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:

  1. Penghitungan jumlah penjulana dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
  2. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
  3. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten)

 

Dengan demikian, penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.

 

  1. TUJUAN PENYELENGGARAAN PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

Penyelenggaraan pembukuan/pencatatan bertujuan untuk mempermudah:

  1. Pengisian SPT;
  2. Penghitungan Penghasila Kena Pajak;
  3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
  4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

 

  1. PERUBAHAN TAHUN BUKU DAN METODE PEMBUKUAN

            Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.

Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusunan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.

 

NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)

 

  1. DEFINISI NPWP

NPWP atau Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajaknnya.

 

  1. FUNGSI NPWP

NPWP memiliki fungus sebagai berikut:

  • Sarana dalam administrasi perpajakan;
  • Tanda pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajaknnya;
  • Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan;
  • Menjaga ketertiban dalam pembayaram pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.

 

  1. PENCANTUMAN NPWP

NPWP harus ditulis dalam setiap dokumen perpajakan, anatara lain:

  1. Formulir pajak yang dipergunakan Wajib Pajak;
  2. Surat menyurat dalam hubungan dengan perpajakan;
  3. Dalam hubungan dengan instansi tertentu yang mewajibkan menggunakan NPWP.

 

  1. PENDAFTARAN NPWP

Berikut adalah informasi untuk pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):

  • Berdasarkan sistem self-assessment, setiap WP wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Penyuluhan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP, untuk diberikan NPWP.
  • Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasrkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
  • Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, wajib pula mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan
  • WPOP yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, bila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahanya telah melebihi PTKP setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
  • WPOP yang lainnya yang memerlukan NPWP dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh NPWP.

 

  1. WAJIB PAJAK PINDAH

Dalam hal WP pindah domisili atau pindah tempat kegiatan usaha, WP melaporkan diri ke KPP lama maupun KPP baru dengan ketentuan:

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan, pindah tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas adalah surat keterangan tempat tinggal baru atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang baru dari instansi yang berwenang (Lurah atau Kepala Desa).
  2. WP OP Non Usaha, surat keterangan tempat tinggal baru dari Lurah atau Kepala Desa atau surat keterangan dari pimpinan instansi perusahaannya.
  3. Wajib Pajak Badan, pindah tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha adalah surat keterangan tempat kedudukan atau tempat tinggal kegiatan yang baru dari Lurah atau Kepalas Desa.

 

  1. PENGHAPUSAN NPWP

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat terhapus apabila:

  1. WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, disyaratkan adanya fotokopi akte kematian atau laporan kematian dari instansi yang berwenang;
  2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan disyaratkan adanya surat nikah/akte perkawainan dari catatan sipil;
  3. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai subjek pajak. Apabila sudah selesai dibagi, disyaratkan adanya keterangan tentang selesainya warisan tersebut oleh para ahli waris;
  4. WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi, disyaratkan adanya akte pembubaran yang dikukuhkan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang.;
  5. Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai BUT, disyaratkan adanya permohonan WP yang dilampiri dokumen yang mendukung bahwa BUT tersebut tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan sebagai WP;
  6. WP orang pribadi lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai WP

Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sehingga dapat merugikan pada pendapatam negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

 

  1. FORMAT NPWP

NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 digit pertama merupakan Kode Wajib Pajak dan 6 digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan.

Formatnya adalah sebagai berikut: XX. XXX. XXX. X – XXX. XXX

 

Catatan:

  1. WP yang tidak diwajibkan mendaftarkan diri apabila memerlukan NPWP maka dapat mendaftarkan diri dan kepadanya akan diberikan NPWP.
  2. Setiap WP hanya mempunyai satu NPWP untuk semua jenis pajak.
  3. Untuk perusahaan perseorangan, NPWP atas nama pemiliknya.
  4. Untuk badan yang baru berdiri sebaiknya tetap mempunyai NPWP karena apabila rugi dapat dikompensasi dengan tahun berikutnya.

 

 

PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

 

  1. PENGERTIAN

Menurut Pasal 2 ayat (4) Undang-undang pajak penghasilan, yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang:

  1. Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia
  2. Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha/kegiatan melalui BUT di Indonesia.

Sedangkan yang dimaksud dengan BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa:

  • Tempat kedudukan manajemen;
  • Cabang perusahaan;
  • Kantor perwakilan;
  • Gedung kantor;
  • Pabrik;
  • Bengkel;
  • Gudang;
  • Ruang untuk promosi dan penjualan;
  • Pertambangan dan penggalian sumber alam;
  • Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
  • Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
  • Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
  • Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
  • Orang atau badan yang yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
  • Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
  • Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

 

Apabila WP dalam negeri melakukan pembayaran kepada WP luar negeri, maka menurut UU perpajakan, transaksi tersebut telah terutang PPh Pasal 26 baik tarif umum sebesar 20% (terhadap WP yang berasal dari negara yang tidak memiliki Tax Treaty dengan Indonesia) mupun tarif berdasarkan Tax Treaty (terhadap WP yang berasal dari Negara yang memiliki Tax Treaty dengan Indonesia).

 

  1. PEMUNGUT PPH PASAL 26

Di bawah ini merupakan yang termasuk pemungut pajak PPh Pasal 26 , yaitu:

  1. Badan pemerintah ;
  2. Subjek pajak dalam negeri;
  3. Penyelenggara kegiatan;
  4. Bentuk Usaha Tetap (BUT);
  5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

 

  1. OBJEK PPH PASAL 26

Dengan berlakunya PMK-82 tersebut, maka terhitung sejak tanggal 22 April 2009, penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 26 dan besarnya tarif PPh Pasal 26 adalah:

Dasar Hukum Jenis Penghasila Tarif dan Dasar Pengenaan PPh
Pasal 26 ayat (1) UU PPh Tax Treaty masing-masing Negara a.    Dividen;

b.    Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;

c.    Royalty, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

d.   Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan ;

e.    Hadiah dan penghargaan;

f.     Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;

g.    Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan

h.    Keuntungan karena pembebasan utang.

Tariff: 20% atau sesuai tax treaty.

DPP = Jumlah bruto.

Tarif efektif = 20% x jumlah bruto.

Pasal 26 ayat (2) UU PPh PMK-82/PMK.03/2009

Tax treaty masing-masing Negara-KMK-434/KMK.04/1999

Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, yang terdiri dari:

·      Perhiasan mewah;

·      Berlian;

·      Emas;

·      Intan;

·      Jam tangan mewah;

·      Barang antik;

·      Lukisan;

·      Mobil;

·      Kapal pesiar;

·      Pesawat terbang ringan.

Kecuali yang diterima /diperoleh oleh WPOP luar negeri yang nilainya tidak melebihi Rp 10.000.000,00 untuk setiap transaksi penghasilan dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima WP luar negeri.

Tarif = 20% dari perkiraan penghasilan neto .

Perkiraan penghasilan neto = 25% x harga jual.

Tarif efektif = 5% x harga jual.

Tax treaty applied*)

Pasal 26 ayat (2) UU PPh KMK-624/KMK.04/1994

Tax treaty masing-masing Negara

Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri:

1. Atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah premi yang dibayar;

2. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indoensia kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara lngsung maupun melalui pialang, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayar;

3. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan re-asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayar.

Tarif = 20% dari perkiraan penghasilan neto.

Perkiraan penghasilan neto:

1. 50% dari jumlah premi yang dibayar;

2. 10% dari jumlah premi yang dibayar;

3.  5% dari jumlah premi yang dibayar.

 

Tarif efektfi:

·      10% dari premi dibayar oleh tertanggung;

·      2% dari premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi;

·      1% dari premi yang dibayar oleh perusahaan re-asuransi.

Pasal 26 ayat (2a) PMK-258/PMK.03/2008

Tax Treaty masing-masing Negara.

 

 

Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (3c) UU PPh Tarif = 20% dari perkiraan penghasila neto

Perkiraan penghasilan neto =  25% x harga jual.

Tarif efektif = 5% dari harga jual.

Tax treaty applied*)

Pasal 26 ayat (4) PMK-257/PMK.03/2008

Tax trety masing-masing Negara

Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dengan syarat:

a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh PKP dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;

b. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut:

c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan berproduksi komersial. Saat berproduksi komersial diberitahukan secara tertulis oleh WP dan ditetapkan oleh KPP yang bersangkutan;

d. Bentuk penanaman kembali dalam penyertaan modal dilaporkan dalam SPT tahunan.

Tarif = 20% dari penghasilan kena pajak sesudah dikurangi dengan pajak atau sesuai tax treaty

 

*) tax treaty applied, bagi WP luar negeri yang berasal dari negara treaty partner, hanya akan dikenakan PPh pasal 26 jika hak pemajakan atas penghasilan dari penjualan harta ada pada pihak Indonesia.

 

PAJAK PENGHASILAN PASAL 25

 

  1. KONSEP DASAR PPH PASAL 25

Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan (SPT) penghasilan tahun pajak yang lalu, dikurangi dengan:

  1. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
  2. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya ulan dalam bagian tahun pajak.

 

  1. PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK

Penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu.

  1. Angsurang PPh Pasal 25 sebelum SPT tahunan disampaikan

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT pajak penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.

Contoh: Apabila SPT tahunan pajak penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret 2001, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar WP untuk bulan Januari dan Februari 2001 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember tahun 2000, misalnya Rp 1.000.000,00.

 

  1. Angsuran PPh Pasal 25 dalam hal terbit SKP

Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbirkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP.

 

  1. Angsuran PPh Pasal 25 jika terdapat kompensasi kerugian

Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan SPT tahunan, SKP, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan UU PPh.

Besarnya pajak penghasilan pasal 25 dalam hal wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian adalah sebesar pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penghasilan neto menurut SPT tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu atau dasar penghitungan lainnya setelah dikurangi dengan kompensasi kerugian dikurangi dengan pajak penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai dengan ketentuan pasal 21, pasal 22, pasal 23, dan pasal 24 UU PPh, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

 

  1. Angsuran PPh Pasal 25 atas penghasian tidak teratur

Penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, harta, dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final. Tidak termask dalam penghasilan yang teratur adalah keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepenjang bukan merupkan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.

Besarnya pajak penghasilan pasal 25 dalam hal wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur adalah sebesar pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penghasilan neto menurut SPT tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan penghasilan tidak teratur yang dilaporkan dalam SPT tahunan tersebut dikurangi dengan pajak penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai dengan ketentuan pasal 21, 22, 23, dan 24 Undang-undang PPh, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

 

  1. Angsuran PPh pasal 25 jika SPT tahunan terlambat disampaikan atau diberikan perpanjanagan menyampaikan SPT

Dalam hal SPT tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan wajib pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan atau diberikan perpanjangan menyampaiakn SPT, besarnya pajak penghasilan pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya SPT tahunna tersebut adalah sama dengan besarnya pajak penghasilan pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara.

Setelah wajib pajak menyampaikan SPT tahunan pajak penghasilan, besarnya pajak penghasilan pasal 25 dihitung kembali berdasrkan SPT tahunan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT tahunan.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 24

 

  1. KONSEP DASAR PPH PASAL 24
  • PPh yang mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.
  • Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia.
  • Indonesia menganut tax credit yang ordinary credit method dengan menerapkan per country limitation.

 

  1. OBJEK PPH PASAL 24

Objek dari PPh Pasal 24 antara lain:

  1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang memberikan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
  2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani buga, royalty, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.
  3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak.
  4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
  5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
  6. Penghasilan dari pengalihan sebagaian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada.
  7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada.
  8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

 

Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri

Untuk melaksanakan pengkreditan pajak yang terutang atau dibayar  di luar negeri, wajib pajak harus menyampaikan permohonan kepada Dirjen Pajak dengan melampirkan:

  • Laporan keuangan dari penghasilan di luar negeri;
  • Fotokpi SPT yang disampaikan di luar negeri;
  • Dokumen pembayaran pajak di luar negeri;

Penyampaian permohonan kredit pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPT tahunan PPh.

 

  1. TATA CARA PENGHITUNGAN

Kredit Pajak Luar Negeri

  1. Dasar hukum pasal 24 UU PPh dan Keputusan Menteri Keuangan nomor 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri.
  2. Pada dasarnya, wajib pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:
  3. Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut;
  4. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
  5. Untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (2) UU PPh, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan deviden tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan;
  6. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP).
  7. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, maka pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama.
  8. Besarnya kredit pajak luar negeri adalah paling tinggi sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu yang dihitung berdasarkan perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap PKP dikalikann dengan pajak yang terutang atas PKP dalam hal PKP lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
  9. Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara.
  10. Dalam hal jumlah pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit pajak yang diperkenankan, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan pajak penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintai restitusi.
  11. Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut:
  12. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya dalah negara tempat badan yang menerbitkan atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan;
  13. Penghasilan berupa bunga royalt dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalty, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
  14. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
  15. Penghasilan berupa imbalan seubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
  16. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
  17. Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.

Contoh:

  1. Perhitungan kredit pajak luar negeri (PPh Pasal 24)
  2. Perdana di semarang memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2009 sebagai berikut:

Penghasilan Dalam Negeri                                                                         Rp 400.000.000,00

Penghasilan Luar Negeri (tarif pajak 20%)                                                Rp 200.000.000,00

 

Penghitungan PPh Pasal 24 adalah sebagai berikut:

  1. Menghitung total PKP

– dari dalam negeri                                                                                     Rp 400.000.000,00

– dari luar negeri                                                                                          Rp 200.000.000,00 +

Penghasilan neto                                                                                         Rp 600.000.000,00

 

  1. Menghitung total PPh terutang

Pajak terutang 25% x Rp 600.000.000,00 = Rp 150.000.000,00

 

  1. Menghitung PPh Maksimum yang dapat dikreditkan

(Penghasilan LN : Total Penghasilan) x Total PPh terutang

(Rp 200.000.000,00 : Rp 600.000.000,00) x Rp 150.000.000,00 = Rp 50.000.000,00

 

  1. Menghitung PPh yang terutang atau dipotong di Luar Negeri

20% x Rp 200.000.000,00 = Rp 40.000.000,00

 

Dari perhitungan tersebut di atas, kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebesar Rp 40.000.000,00 atau sebesar PPh yang terutang atau dibayar di LN. Jumlah ini diperoleh dengan membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dobayar di LN kemudian dipilih jumlah yang terendah.

 

  1. Perhitungan PPh Pasal 24 jika terjadi kerugian usaha di dalam negeri
  2. Adinda berkedudukan di Indonesia dan memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2009 sebagai berikut:
  • Di Negara A memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp 600.000.000,00 (tariff pajak yang berlaku adalah 30%)
  • Di dalam negeri menderita kerugian sebesar Rp 200.000.000,00

 

Penghitungan PPh Pasal 24 adalah sebagai berikut:

  1. Menghitung total penghasilan kena pajak

Penghasilan kena pajak dari Negara A                                                Rp 600.000.000,00

Kerugian usaha dari dalam negeri                                                       (Rp 200.000.000,00)

Penghasilan neto                                                                        Rp 400.000.000,00

 

  1. Menghitung total PPh terutang

Jumlah pajak terutang: 25% x Rp 400.000.000,00 = Rp 100.000.000,00

 

  1. Memghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan

(Rp 600.000.000,00 : Rp 400.000.000,00) x Rp 100.000.000,00 = Rp 150.000.000,00

 

  1. Menghitung PPh yang dapat dipotong/dibayar di Luar Negeri

30% x Rp 600.000.000,00 = Rp 180.000.000,00

 

Kredit pajak yang diperbolehkan (PPh Pasal 24) adalah Rp 150.000.000,00. Jumlah ini diperoleh dengan membandingkan perhitungan PPh maksimum yang dapat dikreditkan dengan PPh yang sesungguhnya dibayar/terutang di LN dan total pajak yang terutang.

 

  1. Perhitungan PPh Pasal 24 jika terjadi kerugian usaha di LN
  2. Kartika pada tahun 2007 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
  • Di Negara X memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp 300.000.000,00 (tariff 20%)
  • Di negera Y menderita kerugian sebesar Rp 500.000.000,00 (tariff 25%)

Di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp 500.000.000,00

 

Perhitungan kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:

  1. Menghitung penghasilan total kena pajak

– penghasilan dari Negara X berupa laba usaha                                   Rp 300.000.000,00

– Penghasilan dari dalam begeri berupa laba usaha                              Rp 500.000.000,00 +

Jumlah penghasilan neto                                                            Rp 800.000.000,00

 

  1. Menghitung total PPh terutang

PPh yang terutang: 25% x Rp 800.000.000,00 =                                  Rp 200.000.000,00

 

  1. Menghitung PPh maksimal yang bisa dikreditkan

(Rp 300.000.000,00 : Rp 800.000.000,00) x Rp 200.000.000,00 = Rp 75.000.000,00

 

  1. Menghitung PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri

40% x Rp 300.000.0000,00 = Rp 120.000.000,00

 

Dari perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan adalah sebesar Rp 75.000.000,00

 

  1. KETENTUAN LAIN

Penguranagn/Pengembalian Pajak Penghasilan Luar Negeri

Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak ats penghasilan yang dibayar di Luar Negeri sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil darpada kredit pajak LN semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan WP dalam negeri pada tahun terjadinya pengurangan atau pengembalian tersebut.

 

Perubahan Besarnya Penghasilan Luar Negeri

            Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.

  1. Jika karena perubahan tersebut menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak yan terutang atas penghasilan luar negeri menjadi lebih besar daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan sehingga pajak yang terutang di LN menjadi kurang bayar, maka terdapat kemungkinan pajak penghasilan di Indonesia juga kurang bayar. Sesuai dengan pasal 8 UU no.28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan. Apabila WP membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan pajak yang terutang menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT terakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
  2. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan peghasilan dan pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan kemudian pajak di luar negeri menjadi lebih dibayar dan mengakibatkan pajak penghasilan yang terutang di Indonesia menjadi lebih kecil sehinggga pajak penghasilan menjadi lebih bayar. Atas kelebihan bayar pajak tersebut, dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

 

  1. KONSEP DASAR PPH PASAL 23

Pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

 

  1. SUBJEK PPH PASAL 23
  2. Pemotong PPh Pasal 23 yaitu diantaranya adalah:
  3. Badan pemerintah;
  4. Wajib pajak badan dalam negeri;
  5. Penyelenggaraan kegiatan;
  6. Bentuk Usaha Tetap (BUT);
  7. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
  8. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
  • Akuntaan, arstitek, dokter, notaris, PPAT, kecuali camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
  • Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa.
  1. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 yaitu adalah:
  2. Wajib Pajak (WP) dalam negeri;

 

  1. OBJEK & TARIF PPH PASAL 23

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tarif untuk PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut:

  1. Tarif 15% dari jumlah bruto
  2. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  3. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian uang;
  4. Royalti;
  5. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21;

 

  1. Tarif 2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
  2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh final pasal 4 ayat (2).
  3. Imbalan, sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa konsultan.
  4. Jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 yang telah ditetapkan oleh Menteri Keungan berdasarkan PMK 244/PMK.03/2008
  5. Jasa penilai;
  6. Jasa aktuaris;
  7. Jasa akuntansi, pembukuan, dan asestasi laporan keuangan;
  8. Jasa perancang;
  9. Jasa pengeboran di bidang penambangan minyak dan gas bumi, kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
  10. Jasa penunjang dibidang penambangan migas;
  11. Jasa penambanagan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
  12. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
  13. Jasa penebangan hutan;
  14. Jasa pengolahan limbah;
  15. Jasa penyedia tenaga kerja;
  16. Jasa perantara dan atau keagenan;
  17. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI, dan KPEI;
  18. Jasa custodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
  19. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
  20. Jasa mixing film;
  21. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan, dan perbaikan;
  22. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan listrik, telepon, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh wajib pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
  23. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, perawatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel selain yang dilakukan oleh wajib pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin;
  24. Jasa maklon, adalah semua pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), sedangkan spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh penggunaan jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa;
  25. Jasa penyelidikan dan keamanan, adalah semua pemberian pelayanan penyelidikan, pengawasan, penjagaan, dan kegiatan atau perlindungan untuk keselamatan perorangan dan harta milik, termasuk penyelidikan latar belakang seseorang, pencarian jejak orang hilang, pencurian, penggelapan, serta patrol;
  26. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer, adalah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusahan jasa penyelenggara kegiatan, meliputi antara lain penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musip, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggaraan kegiatan;
  27. Jasa pengepakan, adalah usaha pengepakan atas dasar balas jasa (fee) atau kontrak, termasuk pula pengalengan, pembotolan, pelabelan, pembungkusan kado (hadiah), dan sejenisnya;
  28. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, medial luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
  29. Jasa pembasmian hama;
  30. Jasa kebersihan atau cleaning service;
  31. Jasa catering atau tata boga.

 

Dalam hal penerima imbalan sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memiliki NPWP maka besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif normal.

  1. PENGECUALIAN OBJEK PAJAK PPH PASAL 23

Penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh Pasal 23 antara lain:

  1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
  2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
  3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
  • Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan
  • Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor
  1. Dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang telah dikenakan pajak penghasilan pasal 21;
  2. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
  3. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
  4. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usah atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang terdiri dari:
  5. Perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan non-bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan.
  6. BUMN dan BUMD yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, menengah, dan koperasi, termasuk PT (persero) Permodalan Madani.